Thursday, June 7, 2007

CINTA YANG MENGAMPUNI


Setiap insan manusia diatas bumi ini pasti pernah berhadapan serta mengalami berbagai pergumulan, persoalan dan atau konflik hidup dalam realita keberadaannya, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya. Dan tentunya ada berbagai pertanyaan yang muncul didalam diri kita disaat-saat kita mengalami konflik diri dengan orang lain. Haruskah kita mengasihi musuh-musuhku? Haruskah kita mengasihi dia yang melukai hati batin kita, sampai kita bersumpah bahwa tak akan ada lagi pengampunan baginya? Haruskah kita mencintai dia yang membuat kita menangis dalam kesendirian, menggores hati kita dengan pedang kata-kata hingga kita merasa hidup ini hampa sama sekali? Bagaimana kita bisa mencintai dia yang telah merusak hidup kita? Ada beribu pertanyaan lain yang pasti akan muncul dalam diri kita berkenan dengan berbagai situasi konflik hidup yang kita alami hari ini, esok dan yang akan datang.

Tidak tahukah Yesus, bahwa kita sudah berjanji untuk tidak mau berurusan dengan orang itu lagi? Tidak! Kita mau berjalan di jalan kita sendiri, dan betapa kita berharap, dia yang telah melukai hati kita dan menginjak-injak wibawa kita tak pernah akan kita papas lagi. Tidak....tidak...dan kita sambung lagi dengan kata-kata kasar lain; semakin tinggi dan semakin keras nada yang muncul dalam diri kita, akhirnya kita berteriak keras, mencemooh namanya dan kita rasa hati kita sudah mulai legah lagi. Setiap kali wajah dan nama orang itu muncul dalam angan-angan kita, hati kita seperti terbakar barah emosi dan mata kita jadi gelap gulita. Kalau boleh, ia lenyap dari hidup ini, biar kita merasa puas sekali, karena tak ada lagi halangan di jalan hidup kita...” Begitulah sekilas gambaran hati kita disaat kita mengalami konflik dengan sesama kita. Ini semua melukiskan atau mengabarkan kebencian kita kepada sesama saudara atau sahabat yang telah mengecewakan diri kita hingga akhirnya kita menghentikan dan menutup diri untuk tidak lagi membina persahabatan dengan sesama kita.

Demikian sekilas gambaran pengalaman realita dalam perjalanan hidup sebagai manusia. Pengalaman membenci dan mengutuk adalah sebuah pengalaman manusiawi. Aku, sebuah pribadi yang terlahir dengan hati yang ‘mencintai’, tapi juga ‘membenci’ dengan hati yang satu dan sama. Hampir tidak bisa kubanyangkan, disaat aku membenci musuh yang telah menyakiti hatiku, disaat itu pula aku masih mampu mencintai seorang yang lain. Kadang aku berpikir, hatiku yang satu dan sama seharusnya terus mengalami situasi ‘babak-belur’, karena disaat aku sangat marah dan seakan merasa bahwa hatiku telah robek berkeping-keping, toh aku berpikir, aku masih ingin dan harus mencintai orang lain. Konflik dalam hati yang satu dan sama adalah sebuah realitas dalam diri setiap pribadi. Pengalaman ini turut membuka kepribadian setiap manusia. Artinya, baik buruknya, tulus liciknya, rendah tingginya, halus kasarnya hati setiap individu tergantung dari intensitas konflik kepentingan dalam hati yang satu dan sama ini.

Semakin banyak konflik dan kedongkolan dalam hati, semakin lemah daya cinta yang tersimpan dalam hati yang satu dan sama. Cinta dan benci adalah dua kekuatan yang berpunggungan dalam diri setiap individual. Dalam saat yang sama, manusia tidak mungkin membenci secara total dan mencinta secara total. Ketika ia membenci, ia mengunci sebagian jalan untuk cinta. Dan ketika ia mau mengunci seluruh jalan cinta, ia berada di titik akhir sebuah kehidupan dan relasi. Dunia raksasa ini sebenarnya merupakan gambaran diri setiap individual. Ada berbagai konflik didalamnya; konflik antara kekuatan cinta dan kekuatan benci, konflik antara perdamaian dan perang. Nafsu saling menghancurkan telah membangun sekat-sekat antara dunia keselamatan dan dunia jahat. Dunia ini terbagi-bagi dalam kubu kawan dan lawan, wilayah perang dan wilayah damai. Siapa yang tidak bersama kita dan mendukung kita, dialah musuh kita. Musuh kita harus kita habiskan nyawanya. Siapa yang menyakiti hati dan menginjak-injak wibawa kita, harus kita balas dengan kekerasan pula. Gigi ganti gigi, mata ganti mata. Hanya dengan jalan itu, hati kita merasa puas, harkat dan martabat kita dipulihkan kembali. Prinsip ini telah mengacau-balaukan dunia hidup kebersamaan kita dan menjadi biang ketakutan manusia jalam ini.

Dan kenyataan membuktikan sebuah akibat yang berlawanan dengan prinsip diatas. Semakin banyak kebencian dan balas dendam, lingkaran setan semakin membesar wilayahnya dan tak akan putus. Manusia semakin brutal dan mengklaim telah menyembah Tuhan Maha Rahim diatas medan perang. Si Manusia yang angkat senjata dan berlagak otoriter dalam keangkuhannya semakin hari semakin mengalami kerusakan diri dan terisolir dari dunia kehidupan ini. Ia hilang simpati dan hakekat di mata manusia lain yang berhati mencintai.

Ya, “Kasihilah musuh-musuhmu….”, demikian kata Yesus. Kata-kata ini menantang, karena menuntut banyak dari setiap individu. Untuk sampai ke tahap ini, setiap pribadi harus menempuh sebuah proses panjang. Sebuah proses pendek pada hakekatnya dangkal dan tak berdaya menyembuhkan. Semua proses ini pun menuntut pengosongan diri kita yang total.

Pertama: Proses panjang yagn dimaksudkan adalah usaha untuk memulai perdamaian dan rekonsiliasi dengan diri sendiri. Ini seringkali menjadi jalan yang berat dan panjang, karena manusia punya kecendrungan untuk melemparkan kesalahan pada orang lain, menerima kesakitan dengan pukulan balasan dan lupa menelanjangkan diri dan berdamai dengan diri sendiri. Sungguh hal ini seringkali di lupakan oleh setiap insan manusia. Perdamaian dengan diri sendiri adalah syarat mutlak untuk berdamai dengan orang lain. Mengasihi diri sendiri dan menerima diri apa adanya adalah syarat awal untuk mencintai orang lain, entah kawan, entah lawan (kata Yesus: kasihilah sesamamu manusia seperti engaku mengasihi dirimu sendiri).

Berdamai dan mengasihi diri sendiri dalam konteks ini adalah “menenangkan diri, membuat diri berada dalam suasana mesrah, tak berlebihan, pas-pasan, merasa diri tentram dan teduh, membiarkan diri menjadi tempat, dimana keadilan dan perdamaian saling berciuman”. Hal ini berarti menolak setiap model perlawanan yang timbul dalam diri menentang sebuah realitas yang tak sesuai dengan keinginan diri sendiri. Hal ini terjadi, karena setiap orang memiliki konsep pribadi akan kesempurnaan dunia.

Tetapi di saat setiap pribadi mengabsolutkan keinginan pribadi dan mengharapkan sebuah dunia yang selamat berdasarkan konsep sendiri, ia telah mereduksi dunia dalam kesempitan sebuah harapan. Di sini sering tibul konflik, karena konsep individualis bertentangan dengan realitas di luar diri. Konflik ini meracuni hati. Racun in harus pertama-tama dikeluarkan dari diri sendiri, agar hati menjadi bersih dan siap untuk mencintai. Sebelum hati menjadi bersih, setiap kata dan tindakan adalah ekspresi sebuah konflik internal. Oleh karena itu, setiap kata dan tindakan orang yang tidak atau belum menyelesaikan konflik dalam diri sendiri, tidak bisa membangun sebuah persahabatan dan kerjasama dengan orang lain. Ia hanya memecahbelah dan meruntuhkan.

Kedua: Jalan anti kekerasan. Jalan khas kekristenan adalah mencintai dia yang memusuhimu. Itu berarti kita bersumpah untuk tidak meraba senjata dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Sejarah Gereja membuktikan, bahwa para martir, para hamba serta pelayan Tuhan dan orang kudus begitu bangga berjalan di jalan ini, hingga berani menyerahkan diri untuk di bunuh atas nama cinta Kristus, yang mengajar kita untuk mencintai dan tidak menggunakan kekerasan. Yesus bukan seorang veteran, bukan juga seorang brigadier jendral dalam sejarah perebutan kekuasaan politis. Ia Raja Perdamaian, Raja Cinta anti kekerasan.

Selain Yesus, para rasul-Nya, para Martir jaman dulu, kita mengenal juga contoh-contoh lain di jalam kita. Hidup Mahatma Gandhi terkenal dengan prinsip utama anti kekerasan melawan berbagai tekanan. Ia menolak menggunakan senjata. “Tak boleh melukai siapapun”, adalah jalan hidup yang ditempuhnya selama 77 thn, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Karena jalan ini “sempit”, beliau menemukan ajal ditengah kota New Dehli oleh tembakan seorang yang fanatik. Menjelang wafatnya, ia menggerakan kepala mengungkapkan keinginannya terbesar dan terakhir: ia mau melihat pembunuhnya. Namun ketika membuka mata, ia hanya melihat kerumunan manusia di sekitarnya. Ia lalu pelan-pelan menarik kedua tangannya yang telah sekarat dan meletakannya secara terkatup di atas dahi, tanda perdamaian, tanda kasih dan rekonsiliasi dengan pembunuhnya. Semua yang hadir dan menyaksikan hal itu mengerti. Lalu ia menutup mata untuk selamanya.

Di tengah godaan dan pengalaman membenci dan dibenci, mencemooh dan di cemooh, menghancurkan dan dihancurkan, membunuh dan dibunuh, ya, di tengah lingkaran setan, kita membuka mata hati sekali lagi dan mendengar Sabda Keselamatan dari Yesus sendiri: “Hai kalian semua yang mendengar, kepadamu Aku berkata: Kasihilah musuh-musuhmu, berbuatlah baik kepada semua yang membenci kamu, berkatilah mereka yang mengutuk dan berdoalah bagi mereka yang mencemoohkan kamu…”

Prinsip hidup dan jalan keselamatan ini adalah realisasi dan lanjutan praktek hidup Yesus sendiri. Rasul Paulus memahaminya secara mendalam dan menulis warta keselamatan ini dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, bahwa inti hidup dan pelayanan kristiani adalah perdamaian dan rekonsiliasi (2 Kor, 5: 18). Perdamian dankasih terjadi dan dialami persis di sana, saat seorang Kristen memancarkan kasih dan roh perdamaian dalam kata dan tindakan, karena ia pertama-tama telah belajar menerima dan mencintai diri sendiri secara seimbang, dan kedua, karena mencintai tanpa unsur kekerasan apapun. Doa sepanjang hidup seorang Kristen hendaknya berbunyi: Jadikanlah aku pembawa damai dan rekonsiliasi, dimana ada kebencian dan permusuhan (bdk doa st. Fransisikus Assisi).

Tapi inilah kenyataannya: tak ada komunitas dan hidup bersama antara manusia, tanpa ada pengampunan dan rekonsiliasi. Entak suka atau tidak, kita akan selalu saling menyakiti. Ketika kita mulai ‘mengasah pedang’ dan memukul balas dengan kekerasan kata dan tindakan, kita telah membantu memperkokoh lingkaran setan di sekeliling kita. Ketika kita berlari dari perasaan itu dan ingin mengungsi dari diri sendiri, kita akan tetap menjadi pribadi yang terluka dan tak akan mampu mengasihi orang lain.

Setiap hari dalam perjalan hidup kita, Yesus mengutus kepada kita “Malaikat Pengampunan dan Rekonsiliasi” yang membawa Roh Cinta Kristus dan meletakkannya di dalam hati kita masing-masing, sehingga kita dimampukan untuk mengasihi semua yang membenci kita dan dengan itu telah menyumbang sebuah andil yang sangat berarti untuk tegaknya Kerajaan Allah di sekitar kita. Hal ini hanya bisa terjadi dalam doa dan dalam semangat cinta Yesus sendiri yang murni. Lain tidak!

00000000

No comments: